kematian

Mati bukan berarti segala sesuatu berakhir. Kita mati hanya proses pemindahan tempat
sesuai takdir yang telah ditentukan.kematian seseorang berbeda tergantung apa yang telah ditentukan dan proses yang dilakukan berbeda tergantung kepercayaan manusia

Kematian menurut Buddhis yang saya baca dari sebuah artikel yaitu berisi tentang :
Definisi kematian dalam Buddhis


Apa definisi ‘kematian’? Suatu pertanyaan sederhana yang kedengarannya sangat gampang untuk dijawab. Kalau seseorang tahu apa definisi ‘kehidupan’ , secara otomatis ia dapat mendefinisikan kematian. Sebab, definisi kematian tidak lain adalah kebalikan dari definisi kehidupan itu sendiri. Dalam kenyataan, definisi kematian jauh lebih pelik daripada yang diprakirakan oleh kebanyakan orang.

Selama berpuluh-puluh abad masyarakat umum terindoktrinasi oleh kepercayaan bahwa kehidupan adalah sesuatu yang dihembuskan oleh Tuhan ke dalam pernafasan. Pernafasan dianggap memegang peranan yang sangat penting. Tanpa adanya pernafasan, tak ada pula kehidupan. Melalui pernafasanlah, makhluk hidup di dunia ini memperoleh oksigen yang sangat dibutuhkan oleh seluruh organ –bahkan sel– dalam tubuh. Kalau tidak mendapatkan oksigen yang dipompakan dari paru paru, jantung akan berhenti berdetak yang berakibat pada terhentinya peredaran darah dalam tubuh. Apabila jantung dan paru-paru berhenti bekerja (cardio-pulmonary malfunction), otak yang berfungsi sebagai pusat pengaturan saraf (neurological function) niscaya akan mengalami kerusakan karena kekurangan oksigen. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, kerusakan ini berakibat fatal bagi keberlangsungan organisme dalam tubuh makhluk hidup, yakni kematian. Dari pengertian inilah kemudian didefinisikan bahwa kematian adalah terhentinya pernafasan (cessation of breathing). Definisi kematian ini pernah diakui serta diterima oleh masyarakat umum, kalangan medis maupun kaum agamawan di Barat.

Namun, pada pertengahan abad ke-20, tatkala ilmu pengetahuan serta teknologi mulai berkembang, definisi kematian itu dipertanyakan keabsahannya. Fungsi pernafasan alamiah dapat digantikan oleh alat pernafasan mekanis (respirator). Pernafasan tidak lagi secara mutlak identik dengan kehidupan. Gagal atau rusaknya sistem pernafasan alamiah tidaklah selamanya berarti maut atau kematian. Karena itu, definisi kematian perlu dirumuskan kembali sesuai dengan perkembangan zaman.

Ini berlatar-belakang pada penjabaran yang diberikan oleh ahli saraf di Perancis pada tahun 1958 tentang keadaan perbatasan antara hidup dan mati yang disebut coma dépassé [secara harfiah berarti keadaan melebihi pingsan]. Pasien-pasien itu seluruhnya menderita kerusakan otak (brain lesions) yang pokok, struktural, dan tak tersembuhkan; berada dalam keadaan pingsan (comatose), dan takmampu bernafas secara spontan. Mereka tidak hanya kehilangan kemampuan dalam menanggapi dunia luar, tetapi juga tidak lagi dapat mengendalikan lingkungan dalam tubuh mereka sendiri. Mereka tidak dapat mengatur suhu tubuh, mengendalikan tekanan darah, dan mengatur kecepatan detak jantung secara wajar. Mereka bahkan tidak dapat menahan cairan dalam tubuh, dan sebaliknya melimpahkan air kencing dalam jumlah yang sangat banyak. Organisme mereka secara keseluruhan boleh dikatakan telah berhenti berfungsi.

Selanjutnya, pada tahun 1968, panitia khusus Sekolah Medis Harvard menerbitkan sebuah laporan berjudul “Sebuah Definisi [Keadaan] Pingsan yang Takdapat Dibalikkan Kembali”. Di situ didaftarkan kriteria bagi pengenalan gejala kematian otak. Laporan ini secara jelas mengidentifikasi kematian otak (brain-death) sebagai kematian –meskipun tidak secara langsung menjabarkan apa itu yang dimaksud dengan kematian. Apabila seorang pasien telah berada dalam keadaan seperti itu, pencabutan alat pembantu pernafasan direstui karena ia secara medis telah dianggap mati.

Kegagalan kerja jantung dan paru-paru sangatlah mudah diketahui, namun tidaklah gampang untuk dapat memastikan kematian otak. Harus dilakukan pengamatan yang cermat atas rangkaian tanda-tanda kehidupan. Apakah seorang pasien sama sekali tidak menanggapi rangsangan (stimulation) apa pun? Dapatkah ia bernafas tanpa alat pembantu? Adakah pergerakan mata, penelanan atau batuk? Apakah alat pemantau gelombang otak (EEG: Electro-EncephaloGram) menunjukkan adanya bukti kegiatan elektrik yang datang dari otak? Adakah arus peredaran darah melalui otak? Jawaban negatif dari rentetan pertanyaan ini menunjukkan kematian otak. Namun, satu tanda saja tidaklah cukup untuk membenarkan anggapan demikian.

Walaupun kebanyakan pakar medis telah menyepakati definisi kematian otak, masih terdapat nuansa dalam rinciannya. Ada yang merujuk pada kerusakan otak secara keseluruhan (whole-brain), dan ada pula yang mengacu pada kerusakan otak di bagian yang berfungsi lebih tinggi (higher-brain). Namun, kriteria yang paling banyak dianut ialah kerusakan otak-pokok (brain-stem). Pada tahun 1973, dua ahli bedah saraf di Minneapolis mengidentifikasikan kematian otak-pokok sebagai suatu keadaan yang takmungkin dapat dikembalikan lagi. Pada tahun 1976 dan 1979, konferensi agung perguruan dan fakultas di Inggris menerbitkan suatu catatan penting dalam topik ini. Yang pertama menjabarkan ciri-ciri klinis atas kematian otak-pokok, sedangkan yang kedua mengidentifikasikan kematian otak-pokok sebagai kematian. Suatu panduan yang mirip dengan ini juga diterbitkan di Amerika Serikat pada tahun 1981. Opini serta praktek internasional pada dasarnya bergerak selaras dengan garisgaris ini –dalam menerima gagasan tentang kematian otak-pokok. Denmark adalah negara terakhir di Eropah yang mengabsahkan definisi kematian otak-pokok (1990).

Otak-pokok adalah suatu bagian yang berbentuk seperti ‘batang’ atau ‘tonggak’, yang berada di bagian dasar/bawah otak. Selain merupakan pusat jaringan saraf yang mengatur pernafasan, detak jantung dan tekanan darah, ini juga memegang peranan penting dalam mengelola kesiagaan [dalam membangkitkan kemampuan bagi kesadaran, misalnya].

Kerusakan pada bagian-bagian yang penting, walaupun kecil, dapat membuat seseorang berada dalam keadaan pingsan sepanjang waktu (permanent coma). Otak-pokok ini mempunyai peranan yang sangat penting atas bekerjanya otak besar dan otak kecil. Hampir semua pencerapan inderawi berjalan melintasi otak-pokok ini. Demikian pula perintah pergerakan serta percakapan, juga dikirimkan melaluinya. Tak berfungsinya otak-pokok berarti tidak adanya kegiatan-kegiatan bermakna pada bagian otak besar; tak ada ingatan, perasaan dan pemikiran; tak ada interaksi sosial terhadap keadaan lingkungan.

Selama beberapa dasawarsa belakangan ini, memang tidak ada gugatan yang bernilai atas definisi kematian yang didasarkan pada kerusakan atau kematian pada bagian otak. Namun, ini bukanlah berarti bahwa inilah definisi kematian ‘yang sesungguhnya’ dan akan dipakai untuk selamanya. Ilmu pengetahuan serta teknologi medis di masa depan mungkin mampu menggantikan fungsi kerja otak –apakah dengan mempergunakan peralatan mekanis/elektrik, melalui pembiakan jaringan otak(brain tissue) ataupun melalui pengarasan (clonning). Dengan begitu, kerusakan pada bagian otak tidaklah berarti maut atau kematian. Pada waktu itulah, suatu definisi yang baru atas kematian perlu dirumuskan lagi.

Apa definisi kematian dalam pandangan Agama Buddha? Apakah mempercayai definisi klasik yang merujuk pada pernafasan –yang telah luluh-lantak diterpa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi– ataukah mengikuti definisi modern yang mengacu pada fungsi kerja otak –yang masih meragukan ketelakannya dan menyimpan ketakpastian?

Dalam Kitab Milinda Pañhâ, Nâgasena Thera secara tegas menolak adanya roh(soul) dalam pernafasan. Penolakan ini diungkapkan oleh beliau kepada seorang menteri utusan Raja Milinda yang bernama Anantakâya. “Siapa sih gerangan Nâgasena itu,” tanya Anantakâya untuk memancing perdebatan.

Nâgasena Thera tidak menjawab pertanyaan ini secara langsung, tetapi justru balik bertanya: “Dalam pengertian Anda, siapakah Nâgasena itu?” Mulailah Anantakâya menyajikan pandangan sesatnya, “Roh, pernafasan masuk dan keluar, itulah yang saya maksud sebagai Nâgasena.” Nâgasena bertanya lebih lanjut: “Bagaimana seandainya nafas yang keluar dari tubuh tidak masuk kembali; apakah orang itu akan mati atau masih hidup?” Anantakâya menjawab, “Jika nafas yang keluar dari tubuh tidak masuk kembali, orang itu niscaya akan mati.” Nâgasena Thera menyanggah pendapat ini dengan membuat suatu perumpamaan yang gamblang: “Para peniup sangkalala atau terompet –yang sewaktu meniup sangkalala atau terompet, nafas yang terhembuskan tidak masuk kembali ke dalam tubuh–; mengapa mereka tidak mati?” Anantakâya berdiam diri karena tidak mampu menjawab pertanyaan ini.

Nâgasena Thera kemudian mewejangkan: “Tidak ada roh dalam pernafasan. Nafas keluar dan nafas masuk semata-mata hanyalah salah satu bagian dari kegiatan jasmaniah (kâyasaõkhâra). Pernafasan adalah unsur udara (vâyodhâtu) yang menghidupi tubuh jasmaniah; bukan kehidupan itu sendiri. Kehidupan itu terdiri atas lima kelompok, yakni: materi/bentuk, perasaan, ingatan, corak-corak batiniah, dan kesadaran. Pernafasan hanyalah salah satu bagian dari materi/bentuk (rûpa).”

Agama Buddha secara tegas menolak definisi kematian yang merujuk pada pernafasan. Apakah ini berarti Agama Buddha mengikuti definisi modern yang mengacu pada fungsi kerja otak? Jawabannya juga tidak. Definisi kematian dalam Agama Buddha tidak hanya sekadar ditentukan dari unsur-unsur jasmaniah –entah paru-paru, jantung ataupun otak.

Ketakberfungsian ketiga organ tubuh itu hanya merupakan ‘gejala’, ‘akibat’ atau ‘pertanda’ yang tampak dari kematian, bukan kematian itu sendiri. Faktor terpenting yang menentukan kematian ialah unsur-unsur batiniah suatu makhluk hidup. Walaupun organ-organ tertentu masih dapat berfungsi sebagaimana layaknya –secara alamiah ataupun melalui bantuan peralatan medis–, seseorang dapat dikatakan mati apabila kesadaran ajal (cuticitta) telah muncul dalam dirinya. Begitu muncul sesaat, kesadaran ajal akan langsung padam.

Kepadaman kesadaran ajal merupakan ‘the point of no return’ bagi suatu makhluk dalam kehidupan ini. Pada unsur-unsur jasmaniah, kematian ditandai dengan terputusnya kemampuan hidup (jîvitindriya). Inilah definisi kematian menurut pandangan Agama Buddha.

Ada tiga jenis kematian dalam Agama Buddha, yakni:
1. Khanika marana: Kematian atau kepadaman unsur-unsur batiniah dan jasmaniah pada tiap-tiap saat akhir (bhanga),

2. Sammuti-marana: Kematian makhluk hidup berdasarkan persepakatan umum yang dipakai oleh masyarakat dunia,

3. Samuccheda-marana: Kematian mutlak yang merupakan keterputusan daur penderitaan para Arahanta. Kematian(1) pada dasarnya diakibatkan oleh empat macam sebab, yaitu karena habisnya usia (âyukkhaya), karena habisnya akibat perbuatan penyebab kelahiran serta perbuatan pendukung (kammakkhaya)(2), karena habisnya usia serta akibat perbuatan (ubhayakkhaya), karena terputus oleh kecelakaan, bencana atau malapetaka (upacchedaka)(3). Empat sebab kematian ini dapat diumpamakan seperti empat sebab kepadaman pelita, yaitu karena habisnya sumbu, habisnya bahan bakar, habisnya sumbu serta bahan bakar, dan karena tertiup angin.

yang saya tangkap ialah kematian akan berbeda pengertian tergantung keyakinan kita dan cara pandang terhadap suatu hal

0 komentar:

Posting Komentar

Search Blog

Profil

Foto Saya
Alexander Fransiskus
Simple is Beautiful
Lihat profil lengkapku

My Quotes

You are loved more than you know, by someone who died to know you. Romans 5:8

Followers